Senin, 28 September 2009

DONGENG#5: TANGIS GARA-GARA ARAB


Ikhwan cilik, Ananda bener-bener tidak mau ke sekolah lagi. Ananda juga tiak mau shalat di masjid lagi. Ananda takut kalau Ahmad menceritakan kejadian pipis subuh itu kepada Farhan, Dika, dan Ipul. Ananda takut kalau berita itu menyebar, Ananda bakal diledekin lagi. Udahmah Ananda kentut di masjid beberapa hari lalu, eh ditambah pipis di masjid juga. Apa kata temen-temen nanti di sekolah? Pokoknya Ananda nggak mau sekolah! Titik.

Hari sudah malam. Abi belum pulang. Abi sedang ikut pengajian di masjid. Sementara Umi membujuk Ananda sekolah besok. Soalnya temen-temen di kelas Ananda mau nengok Abinya Farhan yang lagi sakit.

Kata Umi, “masak Ananda yang teman akrab Farhan nggak ikut..”
“Kan kamarin-kemarin udah sama Abi, Umi…” jawab Ananda.
“Iyaa.. tapi ini kan sama temen-temen sekolah. Beda lagi, kan? Terus kalau Ananda tidak ikut nengok, entar Ananda disebut anak yang tidak setia kawan. Farhan kan sedang sedih gara-gara Abinya sakit. Nanda juga kalau Abi sakit sedih juga kan?” kata Umi lagi.
“Iya.. Tapi Umi.. Farhan nggak sedih. Kemarin dia seneng-seneng aja kok. Farhan malah main PS dan pamer sama Ananda, Mi..” jawab Ananda lagi.

Umi terus membujuk Ananda. “Iya… itu kemarin, sayang. Kata Abi, Abinya Farhan sakit keras lagi. Jadi Farhannya sekarang sedih..”
Ananda mengangguk-angguk. “Ooo gitu ya, Mi.. Iya deh, Ananda sekolah!”

Umi tersenyum. Lalu Umi menceritakan soal pipis. Kata Umi, pipis itu nikmat dari Allah. Jadi bersyukur kalau Ananda masih bisa diberi pipis sama Allah. Soalnya, kalau orang nggak bisa pipis pasti dibawa ke rumah sakit, dan biaya berobatnya mahal. Mending uangnya buat beli sandal baru atau apa saja yang bermanfaat. Tuh, lihat Abinya Farhan. Abinya Farhan sakit kencing manis. Tapi bukan karena banyak makan gula, lho.. tapi makannya yang tidak terkontrol dan jarang olahraga. Jadi deh, kadar gula dalam tubuh Abinya Farhan berlebihan dan jadi penyakit. Kata Umi, makanya Nabi menganjurkan agar kita selalu sederhana dalam hal apa saja. Sederhana makannya. Jangan terlalu kekenyangan. Jangan banyak tidur. Jangan banyak main. Bukan sekolah saja yang ada istirahatnya. Tubuh juga harus istirahat. Kata Umi, “nah.. sekarang, Nanda istirahat dan tidur, ya..”

Umi mengantarkan Ananda ke kamar. Ananda pun tidur lebih dulu.

***

Pagi sudah tiba. Ananda siap berangkat ke sekolah. Ananda dikasih uang jajan lebih sama Umi. Tapi kata Umi, sebagian uang itu harus disumbangin buat beli buah-buahan sebelum nengok Abinya Farhan.

Ananda pun berangkat ke sekolah bareng Umi. Di perjalanan, banyak temen-temen yang menyapa Ananda dan Umi. Sampailah Ananda di sekolah. Para guru bertanya kabar Ananda. Temen-temen juga. Semuanya tidak ada yang mengungkit-ungkit soal kentut dan pipis Ananda di masjid. Ikhwan cilik, seneng rasanya.

“Nanda! Ananda, tunggu!” ada orang memanggil Ananda. Ananda menoleh. Ternyata Ipul. Ipul turun dari motor. Tapi Ipul bersama siapa itu?

Ipul dianterin sama orang bertubuh besar, jenggot dan cambangnya lebat, hidungnya juga mancung, dan orang itu kepalanya sedikit goyang-goyang saat bicara sama Ipul. Ananda lihat Ipul mencium tangan orang itu.

“Pul, tadi itu siapa?” kata Ananda.
“Itu temen kuliahnya Abi di Mesir, Arab. Namanya Syekh Amir. Dia mau tinggal di rumah Ipul beberapa hari ini. Abi sama Syekh Amir dulunya temen akrab. Kayak Ipul, Ananda, Farhan, Dika, dan Ahmad. Syekh Amir kangen sama Abi,” jawab Ipul.
“Orang Arab badanya gede-gede, ya.. Ananda jadi takut,” ucap Ananda.
“Kenapa harus takut? Syekh Amir baik dan suka becanda kok..” jawab Ipul.

Akhirnya kami masuk kelas. Ibu guru mengumumkan kalau hari ini kelas satu akan berangkat menengok Abinya Farhan yang sedang sakit. Oh, iya.. Farhan ternyata belum masuk sekolah. Kasihan Farhan, ya..

Kata Ibu guru, “Anak-anak.. hari ini kita akan menengok Papahnya Farhan. Supaya Farhan dan Papahnya seneng, kita sumbangan dulu yuk buat beli oleh-oleh.. Hayoo siapa yang mau nyumbang!?” teriak Ibu guru.
“Saya.. saya… saya..” jawab para siswa.

Akhirnya semua menyumbangkan sebagian uang jajannya. Termasuk Ananda. Hasilnya lumayan banyak, lho. Soalnya ternyata temen-temen di kelas dikasih uang jajan lebih hari ini. Sebagian uang itu untuk disumbangkan buat Abinya Farhan.

Setelah uang terkumpul kami pun siap berangkat. Umi dan Ibu guru juga sudah datang dari toko buah-buahan. Kami berangkat menuju rumah Farhan berjalan kaki. Soalnya hari masih pagi. Hitung-hitung olah raga.

***

Ikhwan cilik, betapa senengnya Farhan saat kami datang ke rumahnya. Selain sibuk menyantap makanan yang Ananda dan temen-temen bawa, Farhan juga sibuk mengeluarkan semua boks berisi mainannya. Farhan pamer lagi. Farhan menyombongkan diri sama temen-temen. Itu kan nggak baik, ya Ikhwan Cilik? Kasihan yang enggak punya..

Akhirnya, kami selesai menjenguk Abinya Farhan. Ananda dan temen-temen bersiap-siap pulang. Tapi Ikhwan Cilik, Farhan ngambek dan nggak mau ditingal sama temen-temen. Umi dan Ibu Guru membujuk agar Farhan masuk sekolah saja hari itu. Berangkatnya bareng sama temen-temen. Akhirnya Farhan masuk sekolah lagi.

Ternyata Ahmad tidak cerita ke siapa pun soal Ananda pipis di masjid. Buktinya, hingga pulang sekolah tak ada yang tahu soal itu. Bahkan Farhan, Ipul, Dika, dan Ahmad kembali mengajak shalat di masjid lagi dzuhur hari ini. Melihat temen-temen pada semangat gitu, Ananda pun ikut semanget.

Kata Farhan, “Tapi kita jangan dianterin lagi. Pakai sepeda ajah.. oke?”
“Oke,” jawab Ananda.
“Siap,” jawab Ipul.
“Siapa takut!” jawab Ahmad.
Semuanya menjawab. Cuma Dika yang tidak. Dika tiba-tiba murung.
“Dika gimana?” Tanya Ananda.
“Iya.. Dika. Gimana bisa kan?”
“Maaf temen-temen, sepeda Dika lagi rusak. Rantenya putus!” jawab Dika.

Ananda mengangguk-angguk. Kasihan Dika. Eh, ikhwan cilik, maaf Ananda baru cerita kalau Dika itu nggak punya Abi. Abinya meninggal saat Dika masih kecil. Dika tinggal sama Uminya dan Abangnya. Di antara kami, Dika lebih pendiam dan suka minder. Makanya Ananda tahu kalau Dika ngeledekin, pasti itu hanya ikut-ikutan Farhan. Dika anaknya baik, kok.

“Ya sudah, nggak apa-apa. Dika kan rumahnya nggak jauh dari Ananda. Jadi Ananda jemput, deh! Gimana temen-temen?” kata Ananda.
Farhan mengangguk-angguk. “Oke,” katanya.
“Ide bagus!” kata Ipul.
“Sepakat!” jawab Ahmad.

Lalu kami pun pulang. Farhan dijemput, Ipul dijemput orang Arab lagi, Ahmad dijemput Uminya. Sementara Dika masih menunggu Abangnya.

“Umi.. Dika boleh ya numpang bareng di motor Umi?” Tanya Ananda pada Umi. Umi sedang membereskan meja kerjanya. Lalu keluar.
“Iya, boleh dong.. Emang Dika kenapa, sayang? Nggak dijemput?” Tanya Umi sambil memarkir motornya.
“Iya.. Umi. Abangnya belum dateng juga,” jawabku.
“Dikanya mana?” Tanya Umi.
“Itu di depan!” jawab Ananda sambil menunjuk.

Akhirnya Dika pulang bareng sama Ananda. Sesampainya di rumah, Dika langsung tersenyum dan melambaikan tangan pada Ananda. Wah, rasanya seneng sekali bisa melihat Dika tersenyum lagi.

***
“ALLAHU AKBAR.. ALLAHU AKBAR…” Adzan dzuhur berkumandang lagi. Farhan, Ipul, dan Ahmad yang sudah siap dengan sepedanya masing-masing memanggil-manggil Ananda di luar rumah. Ananda pun segera keluar. Tak lupa mengeluarkan sepeda. Kami pun siap berangkat ke masjid sambil lewat menjemput Dika. Akhirnya kami semua siap shalat dzuhur lagi.
Ikhwan kecil, lagi-lagi kami sepakat tidak boleh ada ngomong kalau lagi shalat. Kalau mau kentut atau pipis mending keluar masjid aja. Juga nggak boleh tengak-tengok. Pokoknya kami berjanji tidak akan membuat keributan lagi di masjid dan harus belajar shalat dengan khusyuk.

Kata Ahmad, “kalau kita berisik terus, nanti kita nggak boleh lagi shalat di masjid, lho sama bapak imam sholatnya..”

Sesampainya di masjid, kami langsung berwudhu. Satu persatu kami selesai. Tetap saja, namanya juga anak-anak kali ya, kami sesekali bercanda. Kami saling bermain air wudhu. Meski sebagian baju kami basah, kami tetap senang. Tapi seketika kami terdiam, saat bapak imam shalat melihat kami. Ia hanya memberi isyarat agar tidak boleh main air dan jangan berisik. Hanya itu, kok. Akhirnya, kami masuk ke dalam masjid. Kami siap shalat. Hampir saja ketinggalan. Saking asyiknya main air, kami tidak mendengar suara Iqomat pertanda shalat dimulai.

Seperti biasa Ananda berada paling ujung barisan sebelah kanan. Di samping kanana Ananda kosong. Belum ada yang mengisi. Biasanya, kalau ada jamaah yang telat, tempat itu akan diisi. Jadi Ananda akan berada di tengah-tengah. Beberapa rakaat sudah dilewati, belum ada juga orang bergabung dalam shalat dzuhur berjamaah itu.

Barulah di rakaat terakhir, Ananda mendengar ada orang berlari. Suaranya terdengar jelas. Mungkin orang itu takut terlambat. Soalnya ini kan rakaat terakhir. Dalam hati, Ananda berteriak. “Ayo, pak! Cepetan masuk barisan! Sebentarlagi Bapak Imam mau Ruku.”

Tak lama kemudian, orang itu sudah berada di sebelah kanan Ananda. Ananda tidak boleh menoleh. Itu kesepakatan tadi, kan? Tapi perlahan Ananda melirik. Astaga! Ikhawan Cilik, ternyata orang itu adalah Syekh Amir. Ia tinggi sekali. Badannya juga besar. Dan tiba-tiba saja Ananda menjerit sekencang-kencangnya saat kaki Syekh Amir yang juga berukuran besar-besar itu menginjak jari manis kaki Ananda. Rasanya sakit sekali, Ikhwan cilik.

Makanya Ananda langsung menjerit! “ABII!!! UMI!!! SAKIIIIIITTT!!!”

Ananda pun langsung duduk sendiri dan menangis. Ananda mengusap-usap jari kaki yang sakit karena terinjak orang Arab itu.

“Ananda kenapa nangis?” Tanya Dika.
“Kaki Ananda sakit!” jawab Ananda.
“Sakit kenapa?” Tanya Dika lagi.
Belum sempat Ananda menjawab, Ahmad memberi isyarat. “Nanda.. Dika Sstt.. jangan berisik.. entar diomelin, lho,” suaranya terdengar pelan.
“Iya, nih. Gimana sih.. Nanda! Dika! Kan kita udah janji nggak bakalan ribut lagi di masjid?” kata Farhan nampak kesal.
Ipul pun tiba-tiba bicara, “Farhan kamu juga diem, jangan ngomong. Entar aja ya ngomongnya. Kalau sudah beres shalat. Sebentar lagi beres, kok!”

Sungguh Ananda tambah kesal. Udah mah kaki sakit, eh malah diomelin temen-temen. Bukannya pada nolongin..

Akhirnya shalat selesai. Ananda terpaksa keluar masjid lebih dulu. Kemudian disusul oleh Dika. Lalu Farhan, Ipul, dan Ahmad. Semuanya bertanya kenapa Ananda sampai menangis kencang kayak tadi.

“Ananda kamu kenapa?” Tanya Dika.
“Ananda.. Ananda.. diinjak orang Arab itu! Teman Abinya Ipul!” jawab Ananda sambil menunjuk ke dalam masjid.
Tiba-tiba Ipul tertawa. “Oh.. keinjek kaki raksasanya Syekh Amir. Pantes aja Ananda nangis! Jari kakinya kan sangat besar-besar!”

Ananda kan jadi jengkel. Sementara Farhan langsung mengajak pulang. Ternyata dia ketakutan melihat Syekh Amir yang wajahnya berewokan dan tinggi besar itu. Kata Farhan. “Ayo kita pulang saja. Farhan takut, nih!”

“Ananda pulangnya gimana? Ananda kan kakinya sakit?” Tanya Dika.
“Udah gini, aja. Tadi kan Ananda yang goes sepedanya. Sekarang Dika yang goes. Ananda dibonceng sama Dika lalu anterin ke rumah, ya..” jawab Ahmad.

Sementara itu Ipul yang melihat Syekh Amir beres sholat, segera memanggilnya. “Syekh Amir, ke sini!”
“Sebentar, ya Saiful!” jawab Syekh Amir. Ternyata ia bisa bahasa Indonesia. Ia juga menyebut nama asli Ipul.

Tak lama kemudian, Syekh Amir bangkit dan menghampiri kami. Tiba-tiba saja Farhan langsung kabur dan menggoes sepedanya sekencang mungkin. Jujur lho, sebenarnya Ananda juga takut. Tapi Ananda mau gimana lagi. Kaki Ananda sakit dan males untuk jalan. Akhirnya setelah Syekh Amir minta maaf pada Ananda kerena tidak sengaja menginjak kaki Ananda, Syekh Amir pun mau mengantarkan Ananda hingga ke rumah. Meski ragu, Ananda mau juga naik dipunggungnya. Wah, rasanya takut.. tapi ada senengnya juga sih. Soalnya sepanjang perjalanan menuju rumah Ananda, orang-orang tersenyum pada Ananda.

Sementara itu di belakang Ananda, Dika, Ahmad, dan Ipul, mengiringi Ananda sambil bernyanyi. Pokoknya hari itu ramai sekali. Ananda jadi seneng sholat di masjid. Dan mulai saat ini, Ananda nggak bakalan males-malesan atau takut shalat di masjid. Kata Syekh Amir, berbuat salah juga nggak apa-apa! Yang penting kita masih mau belajar sholat dan membiasakan diri sholat di masjid meski pun telat. Syekh Amir kan tadi telat, tapi ia tetap saja berangkat ke masjid. Iya, kan Ikhwan cilik?

Jadi, ikhwan cilik, meski salah tetap sholat, ya..

DONGENG#4: PIPIS ON THE MORNING


Hari ini hari sabtu. Ikhwan cilik, sudah dua hari ini Ananda tidak masuk sekolah. Ananda juga di rumah saja. Tidak pergi ke mana-mana. Alhamdulillah, Abi dan Umi sama sekali tidak marah. Bahkan Abi mengizinkan Ananda tidak sekolah sampai Ananda siap. Asalkan Ananda mau belajar sama Umi di rumah. Tapi lama-lama kasihan juga sama Umi. Gara-gara Ananda tidak sekolah, Umi pun juga tidak mengajar. Katanya, Umi khawatir kalau Ananda diitinggal sendiri di rumah. Takut Ananda kenapa-kenapa. Selain itu, Ananda sudah tidak lagi shalat di masjid. Meski Ahmad dan Dika pernah mengajak Ananda. Katanya, temen-temen di sekolah juga tidak tahu kok soal kentutnya Ananda. Tapi Ananda tetap tidak percaya. Soalnya Farhan itu rewel. Suka cerita-cerita keburukan temen aja!
Hari sudah malam. Baru saja Abi pulang dari masjid untuk shalat Isya. Tidak seperti biasanya, Ananda lihat Abi sudah siap-siap berangkat lagi. Ananda yang sedang nonton serial binatang-binatang di teve bersama Umi, bangkit dan menghampiri Abi.
Kata Ananda, “Abi mau ke mana lagi?”
“Mau ke rumah Pak Budi, sayang. Menengok Abinya Farhan. Nanda di rumah saja ya.. temenin Umi.” kata Abi sambil mengenakan jaket.
“Emang Abinya Farhan kenapa, Abi?” Tanya Ananda penasaran.
“Kata bapak-bapak di masjid tadi, Abinya Farhan sedang sakit. Jadi Abi mau nengok ke Abinya Farhan,” kata Abi.
“Emang Abinya Farhan sakit apa, Bi?” Tanyaku lagi.
“Abi belum tau sayang.. makanya Abi pengen nengok.. udah, ya. Abi berangkat dulu..” jawab Abi sambil mencium Ananda.
“Bi.. Ananda boleh ikut? Ananda mau ketemu Farhan. Kasihan Farhan ya, Bi..” Pinta Ananda pada Abi.
Sejenak, Abi tidak menjawab. Abi melirik Umi. Umi tersenyum dan segera memakai jaket Umi. Lalu Umi juga mengambil jaket di kamar Ananda dan segera memakaikannya pada Ananda.
Kata Umi, “ya sudah… kita ramai-ramai ke rumah Farhan, yuk!”
“HOREE!!!” teriak Ananda kegirangan.
Akhirnya, setelah mematikan televisi dan memeriksa keamanan rumah, Umi, Abi, dan Ananda pun berangkat ke rumah Farhan.

***

Kami sudah sampai di rumah Farhan. Di rumah Farhan banyak sekali orang. Kata Abi, Abinya Farhan baru saja pulang dari rumah sakit. Abinya Farhan sakit kencing manis. Ikhwan cilik, kasihan Farhan, ya..
Abi dan Umi masuk. Uminya Farhan menyambut kami. Kami disuruh masuk ke dalam kamar Abinya Farhan. Tapi sedari tadi Ananda tidak melihat Farhan. Ke mana dia, ya? Tak lama kemudian Farhan datang. Ternyata dia baru saja dari warung. Farhan memang suka jajan, Ikhwan Cilik. Padahal tubuhnya udah hampir gemuk. Farhan tersenyum melihat Ananda. Kemudian Abi dan Umi menyuruh Ananda agar main bareng sama Farhan. Mereka mau ngobrol sama Abi dan Uminya Farhan. Ananda pun tak bisa menolak, saat Farhan menarik tangan Ananda. Farhan menunjukan segala mainanannya. Ada aneka robotan, mobil Tamiya, kaset PS, dan banyak lagi. Farhan sok pamer di depan Ananda. Ananda cuma diem aja. Ananda lihat Farhan terus saja ngemil sambil mainin PS-nya.
Sambil main, Farhan bertanya. “Nanda, kemarin sekolah nggak?”
“Nggak,” jawab Ananda singkat.
“Kenapa nggak sekolah?” Tanya Farhan lagi.
“Nggak,” jawab Ananda lagi.
“Nanda, kok dari tadi ngomongnya, nggak-nggak melulu?”
Ananda tersenyum. Farhan masih asyik main PS. Ananda hanya nonton saja. Farhan pelit! Padahal Ananda juga bisa kok main PS. Di rumah juga Ananda punya. Bahkan Umi dan Abi juga sering ikut main kalau hari libur. Tapi PS-nya nggak ada berantemnya. Paling juga ada permainan-permainan saja. Kata Umi, kalau keseringan main PS yang ada berantemnya, nanti gedenya jadi galak sama orang. Kalau sudah galak, nanti nggak punya temen. Ternyata Umi bener. Farhan kan suka jail dan kadang-kadang galak sama temen-temen. Ternyata Farhan suka main PS yang ada berantemnya,lho..
“Farhan, kenapa nanya Nanda sekolah nggak?” Tanya Ananda.
“Iya, nggak kenapa-kenapa. Cuma mau tanya aja. Soalnya kan Farhan dua hari ini tidak masuk sekolah. Farhan ikut Mamah nemenin Papah di Rumah Sakit,” jawab Farhan.
Astagfirullah, jadi Farhan dua hari kemarin juga tidak sekolah. Padahal Ananda takut kalau kejadian kentut itu disebarin sama Farhan ke temen-temen sekolah. Kan malu.. Ikhwan Cilik. Ternyata benar apa kata Dika, Ipul, dan Ahmad. Di sekolah tak ada yang tau kalau Ananda kentut saat shalat. Terim kasih ya Allah. Ananda jadi semangat sekolah lagi. Hari senin lusa Ananda mau masuk sekolah. Ananda tidak takut lagi!

***

Ananda pulang dari rumahnya Farhan. Abi dan Umi bercerita kalau sakitnya Abi Farhan gara-gara banyak makan, dan jarang olahraga.
Tiba-tiba Umi punya ide. “Gimana kalau kita besok pagi olah raga bersama di taman komplek? Kan seger pagi-pagi. Supaya tidak kena penyakit kencing manis kayak Abinya Farhan,” kata Umi penuh semangat.
“Oke. Siapa takut!” jawab Abi.
“Nanda… gimana?” Tanya Umi.
“Masak kalah sama Abi.. Malu dong,” kata Abi meledek Ananda.
“Mau sih.. tapi Ananda males bangun pagi-paginya. Ngantuk, Abi,” jawab Ananda.
“Tapi Ananda mau kan? Ya sudah nanti sesampainya di rumah Ananda langsung tidur dan berdo’a sama Allah agar dibangunkan sebelum subuh,” kata Umi menyemangati Ananda.
“Kalau Nanda nggak bangun juga, gimana?” Tanya Ananda, ragu.
“Insya Allah bangun. Kalau nggak bangun, entar Umi atau Abi yang bangunin Ananda, ya..” jawab Umi.
“Hayoo.. Gimana?” Abi menengok ke arah Ananda sambil menyetir. “Sekalian shalat subuh di Masjid bareng Abi. Ananda belum pernah kan?” Tanya Abi lagi.
Oh, iya! Ikhwan cilik, ternyata benar kata Abi. Ananda sama sekali belum pernah shalat berjamaah subuh di masjid. Selama ini kan Ananda bangunnya siang melulu. Meski udah disuruh bangun sama Umi.
“Mau, Bi. Ananda mau! Sekalian shalat subuh ya,” jawab Ananda.
Abi tersenyum dan mengangguk-angguk. Sementara Umi segera memeluk Ananda dan menciumi pipi Ananda. “Nah gitu, dong. Itu baru namanya anak shalih dan pemberani!” kata Umi.
Sampailah Ananda di rumah. Setelah wudhu sama Umi, segera saja Ananda tidur dan berdo’a. “Ya Allah bangunin Ananda sebelum subuh, ya.. Soalnya Ananda mau shalat subuh di masjid dan setelah itu Ananda mau lari pagi sama Abi dan Umi. Supaya Ananda sehat. Amin.”

***

Saat itu sekitar pukul empat pagi. Aneh. Ananda sudah bangun, lho. Padahal biasanya Ananda bangun pukul setengah enam atau juga tepat pukul enam pagi. Allah benar-benar mengabulkan do’a Ananda.
Di masjid sudah terdengar suara orang membaca shalawat. Ananda takut kalau sudah adzan dan Ananda terlambat shalat berjamaah di masjid. Ananda langsung keluar kamar. Ananda berteriak memanggil-manggil Abi dan Umi. Tak lama Abi dan Umi keluar dari kamarnya. Umi sudah mengenakkan mukena, Abi sudah berpakaian rapih seperti hendak shalat.
“Abi! Umi! Ananda udah bangun! Udah subuh belum?” kata Ananda.
“Subahanallah! Nanda udah bisa bangun sendiri, yah.. Belum.. masih lima belasn menit lagi, sayang..” kata Umi yang langsung menciumi Ananda.
“Tuh kan Abi juga bilang apa. Pasti Ananda bisa bangun pagi..” kata Abi.
“Kok Umi udah pakai mukena..? Abi juga udah pakai piyama dan peci..?” Tanya Ananda sambil melihat pakaian Abi dan Umi.
“Belum, Sayang.. Abi sama Umi baru saja shalat tahajud,” jawab Umi.
Ikhwan cilik, akhirnya Ananda duduk di pangkuan Umi. Abi meneruskan baca al-Qur’an. Ya allah.. kok ngantuk lagi, ya? Rasanya enak dan hangat banget kalau tidur lagi di pangkuan Umi. Rasanya Ananda tidak sanggup kalau harus wudhu di kamar mandi. Wuih.. dingin. Tapi Umi terus saja membujuk agar Ananda segera wudhu, soalnya adzan Subuh sebentar lagi berkumandang.
“Ayo, Nanda.. wudhu sana.. mau Umi temenin?” Tanya Umi.
“He-eh..” Ananda mengangguk.
Ya Allah, Umi baik sekali. Saat wudhu Umi yang lebih dulu mencontohkan. Akhirnya Ananda pun pelan-pelan wudhu. Meski dingin, tapi Umi langsung membopong Ananda. Jadi hangat lagi, deh..
Abi tersenyum melihat Ananda kedinginan. Ia mengusap-usap kepala Ananda. Tangannya juga terasa hangat, lho. Pokoknya hilang semua rasa dingin sehabis wudhu tadi. Akhirnya, saat adzan Subuh berkumandang, Ananda dan Abi berangkat menuju masjid. Wiiihh.. semriwing… angin subuh kok beda, ya.. dingin tapi seger dihirup..

***

Ikhwan cilik, Ananda dan Abi sampai di masjid. Ananda sudah siap shalat Subuh. Shalat Subuh sepi sekali. Cuma ada satu baris orang dewasa saja. Mungkin orang-orang pada belum bangun, lalu shalat di rumah masing-masing. Kasihan mereka. Seharusnya ada yang ngebangunin, ya.. Farhan, Dika, Ipul, dan Ahmad nggak ada saat itu. Mereka pasti masih tidur. Soalnya, Ananda juga perasaan kok masih ngantuk saja. Padahal udah cuci muka pakai air wudhu sama Umi.
Ya sudahlah, Ananda pun masuk barisan shalat. Seperti biasa, Ananda berada di samping kanan Abi. Ikhwan kecil, Ananda kesel lho sama Imam shalat. Soalnya bacaan surat Al-Qur’annya panjang banget. Jadinya Ananda juga berdiri lama. Saking lamanya, Ananda jadi merem-melek. Ananda ngantuk. Kaki Ananda diinjak-injakkan ke tanah supaya tidak pegal. Hingga akhirnya Ananda ikut ruku’ di rakaat pertama. Seneng rasanya bisa duduk setelah sujud.
Setelah sujud lagi yang kedua, tiba-tiba Ananda tidak ingat apa-apa lagi. Ternyata, kata Abi, Ananda tertidur saat sujud. Saat itu, Ananda cuma ingat kalau Ananda baru saja pulang main sepeda bareng temen-temen. Saking hausnya Ananda minum. Lalu Ananda pipis di toilet rumah Ananda. Pipisnya lama bangeeeeeett.. Air pipisnya juga terasa banyak. Tapi tiba-tiba Ananda merasa aneh dengan celana Ananda. Rasanya kok anget tapi basah.
Astagfirullah, ternyata Ananda pipis di masjid. Saat Ananda melek, Abi sudah membopong Ananda keluar. Ananda juga melihat beberapa jamaah tersenyum melihat Ananda sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Terus Ananda juga lihat karpet permadani masjid tempat Ananda shalat digulung. Mungkin supaya air pipisnya Ananda tidak melebar kali, ya.. Ih, malunya..
Tiba-tiba terdengar suara Ahmad. “Hiiihhh.. Nanda kok pipis di masjid. Itu nggak boleh. Entar dihukum Allah, lho..” katanya.
Ternyata Ahmad ada di barisan belakang. Abinya telat datang berjamaah. Yah, jadi ketahuan lagi deh. Ananda pun menangis. Hingga Abi sampai di rumah. Abi tersenyum sambil menghibur Ananda supaya tidak menangis. Umi langsung membuka baju dan celana Ananda lalu disiramnya bagian tubuh Ananda yang kena air pipis. Sementara Abi, balik lagi ke masjid. Abi berkata pada Umi, Abi mau membersihkan bekas Ananda pipis di masjid. Kasihan Abi dan Umi. Jadi repot gara-gara Ananda.
Tak lama Abi sudah datang. Ananda pun sudah tidak menangis lagi. Abi mengajak Ananda siap-siap berangkat olahraga di taman komplek. Kata Abi, ini hari Minggu. Pasti di taman ramai, banyak orang-orang yang berolahraga. Tapi Ananda menolak ikut olahraga. Takut ketemu Ahmad. Ananda juga tiba-tiba hari itu jadi males sekolah lagi. Ananda hanya mau dipelukan Umi saja.
Akhirnya, semuanya tidak jadi olah raga, deh..

DONGENG#3: KENTUT IMUT


Ikhwan cilik, Ananda benar-benar kesal hari ini. Sangat kesal! Kesal sekali! Ternyata, kejadian AMIN itu menyebar di sekolah Ananda. Semua teman-teman di sekolah ikut meledek. Bahkan ada yang memanggil Ananda Si Amin. Pasti gara-gara Farhan yang iseng nyebar cerita di sekolah. Tapi Farhan tidak mengaku. Katanya, mungkin Dika, atau juga Ipul. Ananda jadi males berteman dengan mereka. Mereka jahat sama Ananda! Ananda pun jadi malas belajar.
Saat pulang sekolah, Umi menanyakan kenapa Ananda murung, sambil Umi menaiki motor. Padahal Ananda sudah cerita kejadian AMIN itu sama Umi kemarin. “Ananda.. kenapa murung gitu, sayang? Ananda ngantuk?”
Ananda tak menjawab. Ananda yang dibonceng di belakang Umi hanya memeluk erat Umi. Umi menggeleng-gelengkan kepalanya. Sebentar lagi Ananda dan Umi sampai rumah. Di depan kami, sudah ada beberapa teman sekolah yang duluan pulang. Saat berpapasan dengan mereka, Umi pun langsung menyapa teman-teman Ananda di sekolah yang berjalan kaki.
Umi menyapa dengan salam. “Assalamu ‘Alaikum, sayang..”
Mereka menjawab serampak. “Wa ‘Alaikum salam, Bu…”
Ikhwan cilik, saat itu ada salah satu teman Ananda yang juga usil. Ia berteriak memanggil Ananda dengan sebutan Amin. Ia berteriak kencang. “AMIIIINN.. NANTI SORE MAIN SEPEDA LAGI YA!”
Teriakan itu didengar Umi. Seketika, Umi menengok ke arah Ananda. Ananda lalu memeluk Umi lagi. Ia mengangguk-angguk, lalu tersenyum.

***
Ikhwan cilik, hari ini Ananda tidak shalat di masjid sekali pun. Shalat Dzuhrur enggak, Ashar nggak, Maghrib juga nggak. Ananda lagi kesal sama Farhan dan temen-temen. Selain itu malu sama temen yang memanggil Ananda si Amin. Hari ini Ananda kayak dulu. Shalatnya sama Umi aja. Jadi sepi lagi. Nggak ada lagi suara ramai orang AMIN.
Akhirnya, Abi pulang dari masjid setelah shalat Maghrib. Abi langsung masuk ke dalam rumah dan menemui Ananda yang baru aja dinasehati Umi setelah shalat Maghrib tadi bersama Umi. Umi sekarang ngajak makan malam bareng Abi. Entah kenapa, Ananda masih malas bicara. Bahkan kalau Umi tidak memaksa makan malam bareng, Ananda mau nonton teve aja!
Abi, Umi, dan Ananda sudah duduk di depan meja makan. Umi dan Abi saling tersenyum. Umi pun bicara pelan. “Ananda… kalau Ananda murung terus, Umi sama Abi jadi sedih. Katanya Nanda nggak bakal membuat Umi sedih? Hayoo… inget, ngga?” Umi mencium pipi Ananda. Lalu menuangkan nasi untuk Abi dan Ananda.
Abi yang tersenyum menarik lengan Ananda. Abi mendudukan Ananda di pangkuannya. Abi berkata, “Abi nggak marah kok kalau Ananda tidak shalat di masjid. Tapi Abi akan marah kalau Ananda jadi anak laki-laki yang cengeng. Ananda ingetkan Nabi Ananda, Muhammad Rasulullah yang gagah perkasa dan baik hati itu bergelar apa?”
Astagfirullah! Ikhwan cilik, kenapa Ananda jadi lupa! Kenapa Ananda malu dipanggil si Amin. Bukankah Nabi Muhammad juga dipanggil Al-Amin? Al-Amin adalah orang yang terpercaya! Nabi Muhammad jujur dan baik hati. Seharusnya Ananda bangga. Untung Abi mengingatkan!
Suara Umi mengagetkan Ananda. Ternyata Ananda melamun.
Kata “Nanda… kok diem. Abi nanya tuh.. Jawab dong, sayang..”
Ananda pun menjawab. “Eh.. Iya.. gelar Rasulullah Muhammad adalah Al-Amin. Artinya jujur dan terpercaya, Abi..”
Abi tersenyum, lalu berkata. “Jadi… Ananda nggak usah malu disebut Amin. Itu kan artinya bagus sebagus Nabi Muhammad, lho..”
“Iya, Bi. Nanda nggak malu lagi, ah!” Ananda kembali bersemangat lho, Ikhwan Cilik! Abi bener-bener pintar menghibur Ananda.
Umi pun tersenyum melihat Ananda bersemangat. Umi langsung meminta Abi berdo’a sebelum makan. “Abi.. sebelum makan, berdo’a dulu yuk!”
Kepala Abi mengangguk. Ia masih memangku Ananda. Tiba-tiba Abi berbisik di telingan Ananda. “Ananda.. sepulang shalat maghrib tadi, Abi ketemu tukang bajigur. Abi sengaja beli buat Ananda. Ada pisang dan ubi rebusnya, lho.. Masih anget lagi.. Sana ambil di meja depan!”
Abi bener-bener baik. Abi tahu kalau Ananda doyan banget sama Bajigur. Soalnya anget di perut dan sehat. Apalagi ada pisang dan ubi rebusnya yang masih hangat. Seketika, Ananda langsung mengambilnya di meja depan. Setelah Abi selesai berdo’a, Ananda langsung menyantap Bajigurnya. Segar! Alhamdulillah… terimakasih atas Bajigurnya, Bi..
Sepuluh menit setelah selesai makan, Ananda lihat Abi sudah mengambil wudhu di kamar mandi. Setelah Abi keluar kamar mandi, suara adzan Isya pun berkumandang. “ALLAHU AKBARU ALLAHU AKBAR..”
“Ananda… sudah siap ke masjid?” Kata Abi menggoda.
Ananda diam sejenak. “Siapa takut, Bi!”
Alhamdulillah, Ikhwan Cilik. Ananda pun berangkat ke masjid. Yah, hari ini cuma shalat Isya saja yang berjamaah di masjid. Tapi kata Abi, nggak apa-apa. Mending sekali dari pada tidak sholat sama sekali.

***

Ikhwan Cilik, Ananda sudah siap shalat Isya. Seperti biasa Ananda berada di samping Abi. Farhan, Dika, Ipul, dan Ahmad tidak lagi meledek lho. Bahkan mereka udah baik dan minta maaf. Wah, rasanya seneng sekali mereka mau minta maaf. Mungkin mereka takut kali ya. Soalnya ada Abi di samping Ananda. Kalau nggak ada Abi, mungkin mereka meledek lagi.
Shalat sudah dimulai. Ananda tidak lagi teriak AMIN sendirian, tapi bareng orang-orang. Tapi, tiba-tiba saja ada masalah saat satu rakaat lagi hendak salam. Aduh! Kenapa ini? Kok tiba-tiba perut Ananda mules. Rasanya ada yang mau keluar. Gawat, Ananda pengen kentut! Tapi kata Umi, kalau kentut shalatnya bisa batal dan harus wudhu lagi. Gimana ini? Mana mungkin Ananda berhenti dan keluar melangkahi barisan orang-orang di belakang Ananda. Entar Abi marah, karena Ananda tidak sopan. Ditahan saja, ah. Kan sebentar lagi juga salam. Tapi, Ikhwan cilik… Ananda saat itu udah bener-bener nggak kuat nahan. Udah kebelet, nih! Ayo dong Pak Imam cepetan salamnya!
Ananda sudah duduk tahiyyat akhir. Sebentar lagi salam. Ananda sudah gelisah. Ananda juga sudah memegangi tangan Abi. Ananda meringis. Tapi Ananda gagal menahan kebelet kentut, Ikhwan Cilik..
“Tuuuuuttt….” Begitulah kira-kira suaranya. Mungkin karena terlalu lama ditahan, jadinya bunyi kentut Ananda kecil tapi panjaaaaaaaang banget! Mana suara orang-orang lagi sepi, karena sudah tidak membaca apa-apa. Hanya menunggu aba-aba salam dari Imam.
He.. he jadi malu sama Ikhwan Cilik juga. Ini gara-gara Bajigur dan ubi rebusnya yang Ananda makan tadi.
Setelah itu, lagi-lagi Farhan yang lebih dulu tertawa kencang. “HA! HA! HA!” Tapi langsung diam karena mulutnya ditutup Abinya Farhan.
Tak lama kemudian disusul Dika, Ipul, dan Ahmad yang terdengar menahan tawa. Abi langsung mendudukan Ananda di pangkuannya. Lalu berbisik, “Nggak apa-apa, sayang. Nanda ingetkan dongeng Umi tentang orang raja kaya yang sakit gara-gara tidak bisa kentut?”
Ananda mengangguk. Tapi perlahan Ananda menangis. Abi langsung menggendong Ananda hingga ke rumah.

***

Lagi-lagi Umi dan Abi kerepotan membujuk Ananda agar tidak merasa malu. Umi pun mendongengkan kembali tentang si raja kaya yang sakit gara-gara tidak bisa kentut. Sementara Abi keluar kamar. Soalnya Ananda denger suara orang mengucap salam di luar. Mungkin ada tamu..
Umi memulai ceritanya sambil mendekap Ananda. “Suatu hari ada seorang raja yang kaya raya namun sangat pelit. Tubuhnya sangat gendut, karena segala makanan apa saja disantapnya. Ia tidak peduli dengan rakyatnya yang hanya makan kentang dan umbi-umbian lainnya.
Suatu ketika terdengarlah kabar kalau sang raja sedang menderita sakit gara-gara tidak bisa kentut. Sang Raja selalu menangis setiap hari karena merasakan sakit di perutnya. Konon seluruh dokter dari berbagai daerah telah dikerahkan untuk mengobatinya. Namun semuanya gagal. Tak ada yang bisa menyembuhkan penyakit sang raja pelit itu. Hingga terdengarlah kabar kalau di sebuah desa ada seorang pemuda miskin yang dijuluki si raja kentut. Pemuda itu pun langsung dijemput oleh pegawai kerajaan untuk diminta mengobati makanan. Sesampainya di istana, si pemuda tidak melakukan apa-apa. Ia malah asyik menyantap makanan kerajaan yang serba mewah dan lezat. Sang raja pun marah besar karena pemuda itu menghabiskan makanannya. Namun si pemuda mengatakan, begitulah caranya mengobati sang raja. Kata si pemuda, ‘Insya Allah baginda akan sembuh dengan syarat baginda mau saling bertukar makanan dengan rakyat baginda. Baginda memberi makanan baginda kepada rakyat, dan rakyat memberikan makanannya kepada baginda.’ Akhirnya sang raja pun menyetujuinya. Diserahkanlah kepada si pemuda itu segala makanan lezat dari istana dan dibungkus rapih. Lalu si pemuda pun memberikan kentang, ubi, dan singkong yang sudah direbusnya di rumah, kepada sang raja. Lalu sang raja pun memakannya perlahan. Sungguh ajaib! Atas izin Allah, tak lama kemudian terdengar suara kentut si raja yang keluar nyaring dan berkali-kali. Suaranya seperti ban mobil yang kempes. ‘BUSSSHHHHHHHHHH…. BUSSSHHHHHHHHHHHH… BUSSHHHHHHHH…’ seketika si pemuda kabur gara-gara bau kentut raja, sambil membawa makanan istana untuk dibagikan kepada rakyat. Sejak saat itu, sang raja sembuh dan tidak lagi pelit kepada rakyat.”
Umi menyelesaikan dongengnya saat Ananda mulai memejamkan mata.
Terimakasih Umi atas dongengnya. Tapi kalau boleh, besok Ananda tidak masuk sekolah dulu ya..? Ananda malu diketawain temen-temen.

DONGENG#2: AMIN NIH, YEEEE...


Ikhwan Cilik, sejak ribut gara-gara telunjuk dulu, Ananda sekarang sudah mulai ketagihan shalat berjamaah di masjid. Rasanya gimanaaaaaaa gitu, bisa shalat di masjid. Apalagi shalat berjamaah maghrib. Wuih… selain suasana masjidnya yang memang adem dan wangi, jamaahnya juga selalu penuh. Jadi suara AMIN-nya juga bisa lebih rame dan menggema. Ananda seneng banget, tau! Selain itu, Ananda juga bisa ketemu dan becanda dengan teman-teman Ananda. Nggak seperti shalat berjamaah Dzuhur, Ashar, Isya, apalagi Subuh yang biasanya sepi, shalat maghrib itu selalu ramai, kata Abi. Maklumlah, mungkin karena para Abi di sini pada sibuk kerja dan sholatnya di kantor masing-masing. Kata umi, Abi Ananda juga kayak gitu, lho. Paling kalau hari libur dan sudah pulang mengajar, Abinya Ananda lima waktu penuh shalatnya ke masjid terus. Kata Abi, Nabi Ananda, Muhammad Rasulullah pernah berkata. “Kalau kita semua tahu aja besarnya pahala shalat berjamaah di masjid, Abi yakin orang-orang akan balapan berangkat ke masjid, meski jalannya sambil merangkak.” Jadi kata Abi dan Umi, mumpung badan Ananda lagi sehat dan segar bugar, maka Ananda tidak boleh males lagi shalat di masjid.
Hari ini matahari sudah terasa semakin panas. Satu jam lagi adzan dzuhur terdengar. Ananda baru saja pulang sekolah bareng Umi. Meski naik motor Umi, tetep saja badan Ananda terasa capek dan perut ini lapar. Saat Umi membuka pintu yang terkunci, Abi nelpon ke hape Umi. Kata Umi, Abi menyuruh Ananda shalat Dzuhur di masjid. Jujur, Ananda males. Apalagi nggak ada temen-temen.
“Gimana, Sayang? Berani ke masjid sendirian?” Tanya Umi sambil masuk ke dalam rumah. Sementara Ananda masih duduk-duduk di teras depan rumah sambil membuka sepatu, dan segera meletakkannya di rak sepatu dekat pintu.
“Mmm.. males, ah! Capek dan laper, Umi. Terus nggak ada temennya lagi..” sahut Ananda. Setelah membuka baju seragam, Ananda merebahkan diri di sofa. Empuk, ikhwan cilik. Apalagi Umi langsung menyalakan kipas angin ke arah Ananda. Rasanya… suejjuuuk.
Saat Umi sibuk di dapur, mata Ananda jadi ngantuk. Tapi langsung bangkit lagi, saat suara piring beradu terdengar di meja makan. Ananda laper, Ikhwan Cilik. Setelah Umi memanggil, Ananda pun langsung duduk makan siang bareng Umi. Eh, ikhwan cilik, sekedar info. Selain cantik, cerdas, dan baik hati, Umi Ananda juga jago masak, lho. Semua rasa masakan hasil Umi, wuih rasanya lezzaaaaaaarrtt… alias mak nyuuusss..
Saat Ananda masih lahap makan, Umi terlebih dahulu selesai. Umi bangkit setelah mencicipi hidangan cuci mulut berupa buah pisang. Ananda lihat Umi menuju tempat diletakannya telepon rumah. Umi hendak menelpon seseorang. Sementara Ananda tetap lahap makan.
Tak lama kemudian, terdengarlah suara shalawat sebelum adzan Dzuhur menggema. Umi menyarankan agar Ananda cepat menyelesaikan makan dan mandi. Biasanya, Umi mengajak Ananda shalat berjamaah di rumah. Setelah itu Ananda diperbolehkan apa saja. Mau main ke rumah temen-temen silahkan, mau tidur juga tidak dilarang.
Ananda pun mengakhiri makan, dan siap mandi.
Umi kembali menggoda dan bertanya pada Ananda. “Bener nih, Ananda nggak mau shalat Dzuhur di masjid? Deket lho sayang. Atau mau Umi yang nganterin pake motor lagi? Umi siap, kok!”
Ikhwan cilik, saat itu Ananda hanya senyam-senyum. Malesnya jadi ganti alasan, lho. Kalau tadi malesnya gara-gara capek dan laper pulang sekolah, sekarang gara-gara makan terlalu banyak. Karena kekenyangan, jadinya Ananda males jalan. Bahkan, mata Ananda pengen tidur aja. Beruntung Umi langsung menyuruh mandi. Hingga akhirnya mata Ananda seger lagi, lho.
Ikhwan cilik, betapa kagetnya Ananda sesaat keluar dari kamar mandi! Suara motor Umi sudah terdengar lagi. Padahal Umi jarang lho bepergian kalau sehabis ngajar. Paling juga bikin kerajinan tangan tas Al-Qur’an, baca Al-Qur’an dan buku, juga menyiram bunga di sore hari. Tapi hari ini Umi mau ke mana lagi, ya?
Ananda yang masih mengenakan handuk menghampiri, takut kalau Umi mau pergi lama. Ananda mau ikut aja! Soalnya di rumah kan sepi kalau nggak ada Umi dan Abi..
“Umi mau ke mana emang?” Tanya Ananda.
Umi tersenyum dan menjawab, “nggak ke mana-mana, kok.”
“Kok Umi nyalain motor?” Ananda penasaran.
“Emangnya kenapa kalau Umi nyalain motor?” Umi balik nanya sama Ananda. Namun Umi tetap saja sambil tersenyum. “Mau ikut?” Tanya Umi lagi pada Ananda.
Ananda diam. Lalu bertanya lagi. “Emang Umi mau ke mana sih?”
Umi tak menjawab. Ia sudah mengeluarkan motornya.
“ALLAHU AKBAR.. ALLAHU AKBAR…” suara adzan Dzuhur sudah berkumandang lagi. Bahkan suaranya ramai sekali. Di mana-mana terdengar suara adzan. Sampai-sampai Ananda memperhatikan arah suara adzan di masjid itu serius sekali.
Umi berteriak pada Ananda. “Nanda sayang, lihat siapa ini!”
Ananda langsung menoleh ke suara ibu. Itu kan Uminya Farhan! Kok Farhan juga ikut dibonceng? Mau ke mana mereka? Ananda bingung.
Farhan berteriak memanggil Ananda. “Nanda! Ayo cepet pake baju! Kita sholat di masjid, yuk! Farhan dianter Mamah, lho…” Uminya Farhan saling tersenyum dengan Umi Ananda.
Umi kembali bertanya. “Sayang, mau ikut nggak? Umi siap jadi ojek buat nganter Ananda ke masjid. Gratis kok, sayang!”
Farhan juga kembali berteriak. “Iya, Nanda. Ipul, Dika, dan Ahmad sebentar lagi nyusul dianter Mamah mereka!”
Oya? Ananda jadi semangat. Ananda pun meminta agar Umi menunggu. “Umi! Tunggu sebentar, Nanda mau pake baju dulu! Sebantaaar aja…”
Ananda langsung memakai baju piyama dan celana panjang. Tak lupa juga Ananda mengenakan peci. Ikhwan kecil, benar saja. Ternyata di luar sudah ada banyak motor. Selain Uminya Farhan, ada juga Uminya Ipul, Uminya Dika, dan Uminya Ahmad! Wah, kayaknya shalat Dzuhur kali ini jadi ramai. Bahkan nantinya akan mirip balapan motor.
Ananda pun langsung naik motor Umi. Dan kami melaju beriringan. Sesekali Farhan meledek kami, karena dia berada di depan. Sementara kami ada di belakang. Ananda kesal karena diledek.
Karena masih banyak suara adzan, Ananda pun berteriak pada Umi. “Umii!! Ngebut dong! Ayo balap Uminya Farhan!” sambil tertawa Umi pun membalap motor Umi Farhan dan yang lainnya. Umi Farhan pun tersenyum dan tidak mau kalah. Kami pun bersamaan nyampe di masjid.
Lagi-lagi, Farhan yang mengaku menang balapan. Ananda juga tidak mau kalah, dong! Soalnya kita semua emang nyampe masjidnya bareng.
Akhirnya, Umi Ananda melerai. “Semuanya tidak ada yang kalah. Semuanya menang karena sudah sampai masjid. Yang kalah adalah mereka yang nggak sholat, sayang…”
Adzan masih terdengar di masjid. “HAYYA ‘ALAL FALAAAAAAHH..”
Umi Ananda bertanya pada kami. “Hayyoo… siapa yang tahu arti Hayya ‘Alal Falah?” Kami pun sama-sama mengacung dan serempak menjawab. “MARILAH MENGGAPAI KEMENANGAN!” teriak kami.
Umi Ananda kembali berkata. “Ya sudah, cepatlah raih kemenangan itu. Sekarang juga ambil wudhu dan langsung shalat. Hati-hati dan jangan becanda, entar kepeleset!”
Kami pun segera menghambur menuju tempat wudhu. Kami siap shalat Dzuhur berjamaah hari ini. Terimakasih Umi, telah rela jadi ojek…

***
Ananda sudah masuk barisan shalat. Imam shalat kali ini adalah Om Rabin, pamannya Ahmad. Om Rabin meminta kepada beberapa gelintir jamaah agar merapihkan barisan. Om Rabin bilang, “Rapihkan dan luruskan barisan, karena merapihkan barisan sebagian dari kesempurnaan shalat.” Om Rabin memandangi kami, bocah-bocah yang dulu geger di masjid gara-gara soal telunjuk. Ia tersenyum dan memberi isyarat agar jangan berisik. Ananda berada di barisan paling ujung. Sebelah kiri Ananda ada Ahmad dan yang lainnya. Sementara di sebelah kanan Ananda kosong, belum ada yang mengisi.
Ananda pun langsung niat, lalu takbir, seperti yang diajarkan Abi. Sementara Farhan masih sibuk membaca niat dan mulutnya menghafal ushali. Kata Abi, niat cukup di hati saja supaya mudah. Tapi kalau mau baca usholi juga nggak apa-apa. Dan kami pun khusyuk shalat.
Ikhwan cilik, sekalian. Ada yang aneh dalam shalat dzuhur, lho. Kali ini imamnya tidak membaca Al-Fatihah secara keras, sehingga tak ada orang mengucap AMIN bareng-bareng. Satu raka’at… dua raka’at.. tiga rakaat.. tetap saja tidak ada yang berteriak AMIN.
Saat raka’at terakhir, ada orang yang mengisi barisan di sebelah kanan Ananda. Karena penasaran, Ananda menengok. Ternyata orang itu tidak Ananda kenal. Mungkin sekedar mampir untuk shalat di masjid komplek ini. Atau juga warga baru di Griya Sembahyang Raya ini. Ups! Astagfirullah, Ananda baru Ingat dengan pesan Abi. “Ananda…kalau lagi shalat tidak boleh tengak-tengok.” Ananda akhirnya kembali serius meneruskan shalat kembali.
Berbeda dengan yang lainnya, bacaan fatihah orang ini sedikit keras. Sehingga Ananda dengan jelas mendengarnya. Entah kenapa, saat orang itu selesai membaca Al-Fatihah, saking senengnya sama AMIN, tiba-tiba Ananda berteriak sendiri. “AAAAMIIIINNN…”
Setelah sadar, Ananda malu karena cuma teriak sendirian. Tak lama, Farhan, Ipul, Dika, dan Ahmad tertawa. Awalnya pelan, lama-lama terbahak-bahak. Teman-teman Ananda tertawa keras. “WUAHA! HA!”
Ada juga orang gede yang senyum, lho.

***
Shalat beres, kami siap pulang. Aduh malunya! Temen-temen meledek Ananda saat keluar masjid. Mereka menirukan suara Ananda saat teriak AMIN. Ananda kesel, tau! Ananda ingin marah. Saking malunya, badan Ananda berkeringat. Apalagi cuaca hari ini panas banget! Uh, Farhan dan temen-teman jahat. Tapi kata Umi, Ananda harus sabar.
Ananda malas pulang bareng sama temen-temen, abis masih mengejek terus. Melihat Ananda cemberut, Ahmad minta maaf. “Eh, Nanda maafin Ahmad, ya… kita pulang, yuk!”
Setelah Ahmad minta maaf, Farhan dan yang lainnya pun minta maaf. Tapi Ananda masih kesal! Soalnya kayaknya mereka cuma minta maaf bohongan. Buktinya mereka masih cekikikan saat keluar halaman masjid.
Saat itu, Ananda melihat Umi dan Umi temen-temen di kejauhan menaiki motor. Mereka mau ke sini! Mereka mau menjemput! Alhamdulillah, jadi Ananda tidak kepanasan dan diledekin terus. Tapi kenapa para Umi itu kompak, ya? Ananda bertanya pada Ahmad, “Umi kita kok kompak, ya?”
Ahmad menjawab. “Kan Umi Ahmad dan temen-teman ditelponin sama Umi Nanda tadi sepulang sekolah agar mengantar kita ke masjid..”
Oh, jadi ini ide Umi. Terimakasih Umi, atas idenya.
(Bersambung)

Minggu, 27 September 2009

DONGENG#1: KOMEDI TELUNJUK GOYANG:


Sahabat, masa kecil selalu indah. Bukan begitu? Kita hanya tahunya main, makan, modol, dan molor. Nggak peduli orangtua lagi perang panas dingin. Nggak urusan sama kantong ayah yang kerontang. Kita selalu saja punya keinginan. Nah, tulisan ini akan mengawali dongeng komedi anak. Semoga mendidik. Selamat membaca....

Ikhwan cilik, sekalian. Sebelum Ananda cerita banyak kesalahan Ananda saat shalat di masjid, Ananda pengen mengenalkan diri dulu. Nama lengkap Ananda adalah Muhammad Ananda Putra. Cukup panggil Ananda atau Nanda saja. Ananda baru saja kelas satu SD. Abi Ananda bernama Muhammad Ibnu Bahron. Selain tampan, Abi juga bekerja sebagai dosen di sekolah Islam. Ikhwan cilik, selain itu Abi juga suka membaca dan menulis. Abi pernah berkata saat Ananda juga asyik baca buku, “Ananda jangan cuma baca buku sekolah aja, ya. Nanda juga harus mau dan rajin membaca kitab Al-Qur’an sebagai pegangan hidup orang Islam.”
Nah, kalau Umi Ananda namanya Siti Alisya Farrah. Umi bekerja sebagai guru SD dekat rumah kami di Komplek Perumahan Griya Sembahyang Raya. Selain cantik dan suka baca, Umi juga hobi membuat kerajinan tangan berupa tas Al-Qur’an anak-anak. Hampir semua Al-Qur’an teman-teman di komplek ini memakai tas Al-Qur’an buatan Umi, lho. Selain bentuknya cantik, harganya juga murah. Kata Umi, “harga tasnya sengaja dimurahin. Hitung-hitung sodakoh, supaya anak-anak rajin membaca Al-Qur’an.”
Oh iya, terakhir. Ananda belum punya adik dan kakak. Udah ya, kenalannya. Ananda mau langsung cerita aja! Udah nggak sabar berbagi pengalaman tentang awal-awal Ananda shalat di masjid kepada ikhwan cilik sekalian di rumah. Setelah baca basmalah, Ananda mengucapkan selamat membaca. Semoga bermanfaat. Amin.

***

Ikhwan cilik sekalian, saat itu di Griya Sembahyang Raya, hari sudah menjelang maghrib. Semua teman-teman Ananda sudah kembali ke rumah masing-masing. Farhan, Ipul, Dika, dan Ahmad, disuruh mandi oleh Abi dan Umi mereka. Sebelum pulang, kami sepakat, kalau maghrib ini kami akan shalat berjamaah di masjid. Ananda pun langsung pulang dan bergegas mandi. Membersihkan badan setelah tadi sore kami main sepeda bersama di halaman komplek.
Dengan badan penuh keringat dan berdebu, Ananda mengayuh sepeda hingga ke rumah. Ananda penuh semangat menggoes pedal sepeda. Alhamdulillah, sampailah Ananda di rumah. Ananda lihat Umi sedang menyiram bunga-bunga di taman kecil di depan rumah. Sambil menyemproti kembang, senyum Umi pun selalu ikut mengembang.
“Assalamu ‘alaikum, Umi,” ucap Ananda.
“Wa ‘Alaikum salam, Ananda,” Umi menjawab.
Ananda menghampiri Umi dan langsung mencium tangannya. Umi pun balas memberi cium sayangnya di pipi Ananda. Belum sempat Ananda masuk hendak mandi, Umi memanggil.
“Ananda..” teriak Umi pelan. Sambil tersenyum, matanya melirik sepeda yang tergeletak di halaman. “Hayyo lupa ya kata-kata Umi?”
“Ups! Ananda lupa, Umi,” jawab Ananda sambil senyam-senyum.
Biasanya, Umi menyuruh Ananda merawat barang-barang Ananda supaya tetap bagus. Selain itu, Umi juga pernah berkata, “kalau sepedanya ditaruh sembarangan, bisa saja Ananda telah membuat orang yang tadinya sekedar ingin lewat rumah Ananda, malah menjadi pencuri.”
Ananda pun segera menyimpan sepeda di tempatnya, yakni di pojok garasi rumah. Di garasi itulah, sebentar lagi Abi menyimpan mobilnya.

***

Saat Ananda baru saja keluar dari kamar mandi, Ananda lihat Umi sudah menyambut kedatangan Abi dengan mesra. Mereka pasangan yang serasi! Ikhwan cilik, Ananda belum pernah mendengar mereka bertengkar, lho. Rumah kami penuh bahagia. Kalau Umi keburu pergi dan belum sempat masak buat Ananda, biasanya Abi sibuk masak di dapur. Begitu pula sebaliknya. Kalau musim hujan tiba sementara Abi belum pulang mengajar, maka Umi biasanya membetulkan genteng bocor dengan menaiki tangga.
Ananda sayaaaaang banget sama Abi dan Umi….
Ananda langsung menghampiri Abi. Berlari-lari kecil dengan handuk membelit. Ananda berteriak memanggil Abi. Eh, malah Umi yang langsung berlari mendekati Ananda.
Kata Umi, “Ananda.. Jangan lari-lari gitu, sayang. Nantinya kepleset.” Umi mendekap dan membopong Ananda.
Tak lama kemudian Abi mengambil alih. Abi langsung menciumi dan menggendong Ananda masuk kamar. Abi pun segera memilih baju dan menyisiri rambut Ananda hingga rapih dan wangi. Umi mempersiapkan sandal dan sajadah buat Abi ke masjid.
“ALLAHU AKBAR.. ALLAHU AKBAR…” di masjid yang tak jauh dari rumah Ananda, suara adzan sudah terdengar.
Farhan, Dika, Ipul, dan Ahmad satu persatu bergantian memanggil Ananda saat melintasi rumah Ananda. Mereka ditemani Abinya masing-masing. Ikhwan cilik, Ananda panik saat itu. Benar-benar panik! Ananda takut ketinggalan temen-temen shalat berjamaah. Ananda pun langsung mengajak Abi ke masjid. Abi pun heran.
Kata Abi sambil meledek, “bener nih, jagoan Abi udah berani sholat di masjid? Biasanya shalatnya sama Umi di rumah.” Abi tersenyum. Matanya melirik Umi yang juga tersenyum.
Ananda menjawab, “berani! Kan banyak temannya, Bi..”
Abi dan Umi tertawa.
Lalu Abi menggandeng tangan Ananda. Umi melambaikan tangan di depan pintu. Sepanjang jalan Ananda menarik-narik tangan Abi. Ananda ingin menyusul teman-teman. Abi pun jadi berlari-lari kecil.

***

Sampailah Ananda di Masjid Al-Qomaroh, Griya Sembahyang Raya.
Alhamdulillah Ananda masih keburu berjamaah, Ikhwan Cilik. Banyak sekali orang di masjid maghrib ini. Iqomat sudah dikumandangkan. Orang-orang pun siap berbaris. Seperti halnya Farhan, Dika, Ipul dan Ahmad yang dekat dengan Abi mereka, saat shalat berlangsung, Ananda juga nggak mau jauh-jauh dari Abi. Makanya, Ananda berada di sebelah kanan Abi. Ananda mengikuti segala gerakan Abi. Hal yang paling Ananda sukai saat berjamaah di masjid, adalah suara temen-teman Ananda yang saling teriak kencang saat imam masjid di depan kami selesai membaca surat Al-Fatihah. Orang-orang serempak mengucap, “AAAMMIIINNN…” Ananda mendengar suara Farhan terdengar kencang, diikuti Ipul, Ahmad, dan Dika. Ananda pun tak mau kalah. Ananda juga berteriak keras. Seneng sekali rasanya..
Ikhwan cilik, shalat sebentar lagi selesai. Ananda sebenarnya sejak tadi sering tengok kiri kanan. Meski Abi sebelum shalat bilang tidak boleh tengak-tengok, Ananda tetep nggak bisa, lho. Soalnya, pas setiap kali Abi sedang membaca tahiyyat dan Abi mengacungkan jari telunjuk sambil digerak-gerakkan naik turun, Ananda jadi bingung. Soalnya bapak-bapak di sebelah kanan Ananda hanya mengacungkan saja, tanpa menggerakkannya. Kok beda, sih? Ananda jadi bingung, Ihwan cilik. Benar-benar bingung sekali. Saking herannya, saat Abi membaca Tahiyyat Akhir, Ananda tiba-tiba langsung berdiri dan mengamati telunjuk para jamaah. Ananda tengok kiri kanan. Juga tengok depan belakang. Benar saja. Telunjuk-telunjuk itu ada yang bergerak-gerak ada juga yang tidak. Selanjutnya Ananda lihat Farhan melambai dan berteriak. Dia memberi isyarat agar Ananda duduk lagi.
“Nanda! Duduk! Jangan berdiri!” teriak Farhan. “Bisa-bisa shalat kamu batal lho! Ayo duduk lagi!”
Ipul pun yang sejak tadi hanya memperhatikan ikut bicara. “Iya, Nanda.. Nanti nggak dapet pahala dari Allah, lho..”
Dika pun akhirnya ngomong juga. “Iya, Nanda. Sayang kan kalau pahalanya hilang..”
Ananda masih diam. Lalu tersenyum.
Ahmad pun bicara. “Hei temen-temen! Kata Abi Ahmad juga, kalau orang shalat itu dilarang ngomong. Nanti batal!”
Akhirnya Nanda pun menjawab. ”Temen-teman! Lihat! Jari telunjuk Abi temen-teman pada bergoyang-goyang, nggak?”
Dan seketika kami pun berdiri. Tengok kanan-kiri. Sebelum kami menjawab, kami sudah ditarik Abi masing-masing ke pangkuan.
Abi Ananda berkata. “Sttt… Ananda nggak boleh berisik di masjid. Entar orang-orang keganggu shalatnya.” Ananda lihat Abi senyam-senyum dengan bapak-bapak lainnya di sebelah yang juga ikut tersenyum.
Ananda berbisik di telinga Abi. “Tapi, Bi.. kok orang-orang shalatnya nggak sama seperti Abi?”
Abi juga berbisik. “Sama, sayang. Nanti Abi jelasin di rumah, ya..”
Sebelum pulang ke rumah, Ananda dan temen-temen yang juga didampingi Abi masing-masing saling menyalahkan di jalan. Kata Farhan, Ipul, dan Dika, mengatakan ini semua gara-gara Ananda yang memulai. Mereka jadi nggak dapet pahala.
Ananda membela diri, karena Ananda tidak berbicara. Ananda cuma berdiri doang, kok. Cuma mau melihat telunjuk saja. Udah.
Sementara Ahmad menyombongkan diri. “Jadi cuma Ahmad yang dapet pahala, dong! Kan Ahmad ngasih nasehat ya, Bi?”
Abi Ahmad, Abi Farhan, Abi Ipul, Abi Dika, dan Abi Nanda tersenyum geli. “Semuanya nggak ada yang salah. Insya allah Ananda, Farhan, Dika, Ipul, dan Ahmad semuanya mendapat pahala karena masih kecil dan lagi belajar.” Kata Abi Farhan.
Mendengar itu, kami pun berteriak. “HOREE!!!”
Kami pun berlari saling mendahului, meninggalkan Abi masing-masing.

***
Ikhwan Cilik, Ananda masih penasaran, lho soal telunjuk tadi. Shalatnya sama, tapi kenapa telunjuk beda-beda? Ada yang gerak, ada yang diem aja.
Ananda pun langsung menagih jawabannya pada Abi. Abi ke mana, ya? Oh itu! Ternyata Abi ada di ruang perpustakaan keluarga sedang memilih-milih buku untuk dibaca sebelum tidur. Biasanya, Abi memilih buku-buku dongeng Nabi atau cerita anak shalih buat dibaca sebelum Ananda tidur.
Ananda menghampiri dan berkata, ”Abi, katanya Abi mau menjelaskan soal telunjuk shalat maghrib tadi? Dongeng sebelum tidurnya diganti cerita tentang telunjuk aja, ya? Sekarang.. Mumpung Abinya belum ngantuk.”
Abi menoleh dan tersenyum. Setelah mengambil sebuah buku, Abi kemudian mengajak Ananda duduk di pangkuannya. Abi pun membuka buku yang ada di tangannya dan hendak memulai penjelasannya. Tapi Ananda penasaran buku apa yang Abi baca? Ananda pun meminta Abi menunjukan halaman depan buku itu. Ananda perlahan mengejanya. ” S-siiffaaat... S-sshalaaatt.. N-nabiiiiiii..SIFAT SHALAT NABI!”
Abi menciumi pipi Ananda dan berkata, ”Pinteeerrr anak, Abi. Ya sudah, Abi mulai ya penjelasannya...”
Abi pun membuka halaman buku dan membacanya. “Ananda... Buku ini ditulis oleh Ulama Ahli Hadits bernama Muhammad Nashiruddin Al-Bani. Menurut Syekh Al-Bani, ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, Imam Muslim, dan Imam Ahmad yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah berkata. ’Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.’ Nah... karena Nabi juga menggerak-gerakkan jarinya saat shalat, maka Abi juga mengikuti ajaran Rasulullah. Kalau Abi nggak nurut, itu namanya Abi nggak sayang sama Rasulullah Muhammad SAW. Entar Nabinya sedih. Nanda sayang Nabi kan..?”
Ananda mengangguk. ”Sayang, doong.. Tapi Abi, kenapa harus digerak-gerakkin? Kan Abinya temen-temen Ananda telunjuknya diem aja, Bi..?”
Abi menjelaskan lagi dan membaca buku. ”Ini.. kita baca sama-sama, ya.. Karena, menggerak-gerakkan jari telunjuk lebih keras dirasakan syetan dibandingkan pukulan besi. Kalau yang tidak menggerak-gerakkan jarinya itu, mungkin belum baca buku ini. Makanya tidak, tahu.. Nah, Nanda benci nggak sama setan? Kalau benci jarinya harus digerak-gerakkin saat shalat supaya setan lari terbirit-birit karena kesakitan..”
”Oo gitu. Setannya kayak dipentungin gitu ya, Bi?” tanya Ananda.
”Ya, betul sekali sayang,” kata Abi sambil menutup buku.
Tak lama Umi datang dan langsung membopong Ananda masuk ke kamar. Ananda harus segera tidur, karena besok harus sekolah. Selamat tidur, ya..

(bersambung)

SI ADUY: TANTANGAN KOMEDI DALAM KETERBATASAN


Ini tantangan. Ada banyak hal yang bisa saya dapat dari semua keterbatasan ini. Efektif sejak mei lalu saya bergabung di Banten TV, sebuah televisi lokal di Banten, sebagai tim kreatif. Bermodal pengalaman saya saat menjadi co writer Mas Gola Gong yang saat itu menggarap FTV sinema romantis dan FTV sinema Ramadhan dari SinemArt yang ditayangkan RCTI dan menulis skenario freelance lainnya, saya pun menyanggupi saat diamanahi menggawangi skenario sinetron komedi lokal Si Aduy:anak kampung jadi sarjana. Sedikit info, Si Aduy menceritakan tentang pemuda lugu asal Baduy yang ingin kuliah. Sikap kekampungannya itulah modal komedi terbesar yang bisa saya eksplor. Meski durasi hanya 30 menit dan tayang per-weekly, tetap saja menguras tenaga dan fikiran. Kenapa? karena di awal-awal penggarapannya, saya juga merangkap sebagai boomer sesekali juga gulung kabel. ha ha.. Tapi tak apa. Saya dan kawan-kawan berusaha enjoy saja. Hingga akhirnya kru si Aduy bertambah, dan saya diharuskan konsen menjaga naskah. Karena gosipnya, Si Aduy bakal kejar tayang atau streeping (?).
Kesulitan terbesar adalah, saya harus memainkan empat tokoh utama dengan pemain tambahan sebanyak dua orang. Konfliknya bagi saya sendiri cukup sulit digali, karena settingnya tidak boleh lebih dari satu tempat, yakni kampus. Kenapa? Karena keterbatasan dana dan kru. Tapi sekali lagi saya berusaha enjoy, kerena walau bagaimana pun, si Aduy adalah sinetron pertama di Banten. Saya tidak mengukur diri dengan televisi nasional yang sudah mahir-maher membuat sinetron, meski sebagian banyak dikerjakan oleh production house atau PH. Beruntung saja Gola Gong selalu menyemangati saya, bahwa saya akan terbiasa mengolah cerita dan konflik meski keterbatasan seting dan pemain. Ukuran bosan penulis skenario juga terkadang berbeda dengan penonton. Saya gelisah takut penonton jemu, sementara penontonnya enjoy-enjoy saja. Mereka tak peduli logika cerita, kebocoran gambar, dialog aneh, over monolog, dll. Akhirnya belajar dari penonton, saya pun enjoy aja.
Jangan lupa! Tonton terus si Aduy; anak kampung jadi sarjana, setiap sabtu pukul 21.00 WIB. Hanya di Banten TV.

PENULIS KOMEDI TAK HARUS BANYAK NGOCOL


Saat launching novel Slonong Boy Millionaire di Rumah Dunia beberapa bulan lalu, ada salah satu penanya yang membuat saya geli. Karena dia kebetulan dia kenal dengan saya, maka inilah pertanyaannya; Langlang itu orangnya pendiam, bagaimana caranya bisa membuat novel komedi? Dan sekarang, setelah beberapa teman lainnya sudah mendapatkan novel itu, mereka juga bertanya dengan pertanyaan yang sama; saya pendiam, tapi bisa menulis komedi.
Jawabannya saya sederhana sekali. Belajar. Yah, segalanya bisa dipelajari. Saya belajar menulis cerita berbau komedi. Caranya dengan apa? Saya harus lebih banyak baca buku novelis komedi terkenal semisal Mas Boim Lebon dan Hilman Lupus. Selain itu saya juga melakukan riset data-data konyol yang sebenarnya sudah bertebaran di dunia maya. Saya tinggal mengolah dan menyelipaknya dalam setiap dialog karakter yang saya ciptakan. Sampai di sana menulis komedi sangtalah mudah. Namun persoalan lain muncul. Apakah benar novel ini akan membuat orang ketawa? Ini juga hal yang membuat saya jiper dan minder. Maka saya pun berinisiatif melakukan uji coba. Karena saya tinggal di Rumah Dunia, maka saya pun meminta beberapa relawan Rumah Dunia untuk membaca satu halaman pertama. Biasanya saya pura-pura ke kamar kecil, padahal saya mengintip. Aha! Ternyata dia ketawa. Saya pun semangat. Satu uji coba tidak cukup. Maka saya pun mencobanya pada relawan Rumah Dunia yang lain. Ternyata hasilnya sama, meski ada yang hanya mesam-mesem. Maka, bismillah, dikebutlah naskah Slonong Boy.
Nah, kembali ke masalah apakah penulis komedi haruslah mempunyai karakter yang ngocol juga? Saya pikir tidaklah. Toh dunia novel komedi indonesia sudah membuktikan dengan sosok Hilman "Lupus" Hariwijaya yang aslinya tampak cool dan adem ayem, tidak seperti sohibnya, Mas Boim, yang "ganjen"nya nggak ketulungan. He he..

KARAKTERISASI TOKOH SLONONG BOY MILIONAIRE


Teman, inilah tiga tokoh sentral dalam novel Slonong Boy Millionaire; Kamal, Sa'im dan Latina. Sekedar berbagi, inilah karakterisasi yang saya buat. Selamat membaca. Kritik dan saran, tetap saya tunggu. Ha ha.

Kamal/JAMAL MALIK
(Suka Males)


CIRI FISIK:

1.Tampan, Tegap
2.Kulit item manis
3.Rambut lurus lebat
4.Pusar kepala ada dua
5.mirip Didi Riyadi Element, Gito lho.

KEBIASAAN:

1.Slonong boy (ga mau salaman)
2.Asal Ngomong, banyak benernya
3.Mudah menangis jika kepepet.
4.Ketawa Cuma 2 kata ”Ha ha..”
5.Awal kalimatnya ”jadi begini,” jika nimbrung, ”jadi begitu..”

INTERAKSI:

Tokoh Utama. Adiknya Sakim. Banyak mengalah sama sang Kakak. Jatuh cinta sama Latna. Jadi milyarder setelah menang quiz WHO WANT TO BE A JURAGAN.


Sa;im/SALIM
(Sangar dan Jaim)


CIRI FISIK:

1.Rintik berketombe,
2.Kulit Item abis.
3.Bibir tebal
4.Badan Buntet kekar
5.Mirip Budi Anduk!

KEBIASAAN:

1.Petantang-petenteng sok jago
2.Lengan kaos selalu dilingkis
3.Pernik2 khas Raper
4.ngomong suka pake ”Brew”
5.Mata duit abis!

INTERAKSI:

Tokoh pembantu. Kakak kandung Kamal (Cuma diragukan diri sendiri). Baik sama adik, terkadang jahat dan sok kuasa.

Latina/ LATIKA
(Telat Nanya)


CIRI FISIK:

Putih dan Manis
2.Rambut lurus sebahu
3.Bibir tipis
4.Mata tajam
5. Mirip Titi Kamal!

KEBIASAAN:

1.Suka duduk deprok seenaknya
2.Latah menari setiap denger musik
3.Suara cempreng Mpok Nori
4.Cengeng, Oon, bicaranya cadel
5.Hobi koleksi sendal bekas
6.Manggil nama sendiri ”Latina”

INTERAKSI:
Teman Kamal dan Sakim karena sama-sama dari pemukiman kumuh. Cinta sama Kamal. Tapi nggak cinta mati-mati amat! (BERSAMBUNG)

SINOPSIS SLONONG BOY MILLOINAIRE


Kamal dan Salim, kembar beda kulit beda rambut, terpaksa menjalani hidup di kerasnya Jakarta. Mereka tinggal di pemukiman kumuh PESELENONGAN (pecenongan) Jakarta. Sejak bertemu dengan artis idolanya Tukul Arwana yang menyebutnya sebagai Slonong Boy, Kamal pun memproklamirkan diri sebagai ”Kamal si Slonong Boy.” Salim, sang kakak bekerja sebagai penjaga empang lele milik RT. Kamdul.
Ibu mereka tewas saat petaka dan kekonyolan terjadi waktu Kamtib DKI menggusur paksa kawasan itu. Sang Ibu yang biasa menipu kalau ayannya kambuh itu, hari itu naas. Sang anak mengira ibunya yang sedang menggelepar-gelepar di sungai, pura-pura ayan. Rumah kebakaran gara-gara tukang bakso panik. Dalam kondisi chaos, Kamal dan Sakim asyik mencuri apa saja. Termasuk sandal butut Latina, gadis o’on maniak sandal butut. Gara-gara sandal, kemana saja Kamal dan Sakim pergi ia ikut.
Bertiga mereka jadi pemulung. Mereka kemudian ditarik oleh Mamad yang mengaku sebagai seniman. Di rumah Mamad, anak-anak diajari akting, olah vokal, olah tubuh, tata kostum dan properti artistik, arasemen lagu, dll. Tapi anehnya, dialog dan lagunya tidak boleh gembira. Harus sedih dan mengiba. Seperti, ”Kasihaaan, pak...” Tujuannya, untuk dijadikan sebagai PENGEMIS-PENGEMIS DAN PENGAMEN YANG MENJUNJUNG TINGGI KUALITAS DAN PROFESIONALIME.
Kamal dan Salim kabur gara-gara temannya, Arkan, digurah suara supaya menyanyinya lebih merdu dan pendapatannya lebih banyak. Arkan menangis dan muntah-muntah gara-gara ramuan dodol si dukun. Dalam pelarian, Latika tertangkap gara-gara sandalnya ketinggalan. Kelak mereka tahu, Mamad menyewa dukun palsu. Bukanya bagus, suara Arkan malah terdengar sengau. Usaha Mamad bangkrut dan banting stir jadi ketua kelompok lenong. Baginya, lenong hanya bermodal teriak aja!
Kamal dan Sakim kembali merebut Latina. Terjadi pertarungan dodol antara Mamad dan Sakim. Sakim menang. Mamad tewas gara-gara kena asma mendadak, saat komplek perumahannya di-fooging petugas untuk membasmi malaria.
Sakim dan Kamal salah paham. Sakim mimpi mengusir orang dan menunjuk-nunjuk Kamal. Kamal pun pergi. Beberapa tahun kemdian mereka bertemu. Sakim sudah jadi anak buah kepercayaan Juragan RAKUN, sang juara bertahan Quiz Who Want To Be A Juragan, yang biasa digelar lima sekali. Sementara Latina menjadi anak angkat kesayangan Rakun. Meski istri banyak, hidup Rakun selalu gelisah dan stress jika gelar juaranya direbit orang, sehingga ia tidak punya selera untuk berhubungan badan dengan para istrinya. Latina pun dibangunkan pabrik sandal.
Kamal tahu keberdaan Latina. Ia mencoba mendekati Rajun. Ia menjadi babu di rumah Rakun. Gara-gara ceroboh nyelonong di depan Rakun yang sedang menonton Quiz Who Want To Be A Juragan, Kamal pun dipecat. Suatu kebetulan, beberapa bulan kemudian Kamal ditelpon operator penjaringan peserta Quiz Who Want To Be A Juragan. Ia pun lolos. Latina memberikan kenang-kenangan sandal butut kepada Kamal. Kamal kesal dan melempar sandal itu. Tapi ia juga aneh. Kenapa dia bisa sayang Latina?
Segala pertanyaan dijawab ASBUN, asal bunyi, dnegan mengingat kisah konyol masa lalunya. Tapi tepat semua. Saat pertanyaan puncak, Kamal menggunakan bantuan PHONE A FRIEND. Kamal ingin menelpon Latika. Dasar Latika o’on, ternyata nomor yang dikasihkan itu adalah nomor ayah angkatnya; Rakun. Terjadinya kehebohan. Rakun adalah juara bertahan. Dan ini adalah pelanggaran Quiz. Kamal diinterogasi saat jeda iklan. Dan orang yang dihubungi pun diganti. Kamal menghubungi Sakim. Saat dihubungi, lagi-lagi Rakun yang mengangkat. Sakim yang oleh Rakun ketahuan saudaranya Kamal, ketakutan dan bersembunyi di dalam toilet rumah Rakun yang juga difasilitasi televisi. Sementara itu di studio Quiz ribut lagi. Panitia bingung! Akhirnya, dengan modal akting sedihnya, Kamal lolos jadi juragan tahun ini menggantikan Rakun. Sakim yang terlalu senang, terpeleset di toilet dan kepalanya masuk closet. Ia tewas nungging.
Rakun mengaku kalah. Namun Kamal hanya ingin Latina kembali. Rakun tetap tinggal bersamanya. Lagi-lagi, Latina O’on. Kamal diusir dari rumah sendiri, lantaran sendal kenang-kenangan darinya hilang entah ke mana. Jadilah kamal seorang milyarder yang setiap hari kerjanya hanya kasak-kusuk di tong sampah, slanang-slonong di rumah orang, masjid, sekolah, dan keramaian apa pun demi mendapat sandal kekasih O’onnya: Latina.

Novel Perdana


Tak mudah menulis novel. Butuh daya napas kuat dan fisik yang tangguh. Bahan sudah ada untuk diolah menjadi tulisan, namun fisik sudah meminta istirahat. Di sanalah komprominya. Terus atau istirahat? Persoalannya, jika novel yang kita garap tak ada sangkut paut dengan kesepakatan penerbit dan tak ada deadline, maka kita bisa enjoy menulis novel kapan pun. Berbeda dengan menulis novel yang sudah dipesan penerbit. Nah, itu terjadi pada saat saya menulis novel Slonong Boy Millionaire.